Apa itu Dissenting Opinion?
Pada Senin (22/04/2024) lalu, hakim MK akhirnya membacakan hasil putusan sengketa Pemilu 2024 yang diajukan oleh paslon nomor urut 1 dan 3 dengan amar putusan yaitu menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Secara prinsip, putusan MK terkategori menjadi tiga jenis yaitu “menyatakan permohonan permohon tidak dapat diterima”, “mengabulkan permohonan pemohon”, atau “menyatakan permohonan permohon ditolak”.
Perbedaan pendapat oleh para hakim bisa saja terjadi sebelum pembacaan hasil putusan sidang dilaksanakan. Biasanya para hakim akan berunding kembali hingga seluruh hakim menyatakan sepakat memiliki pendapat yang sama. Namun apabila terdapat hakim yang tetap memiliki pendapat yang berbeda dengan hakim lainnya hingga putusan dibacakan, maka pendapat yang berbeda itu dikenal dengan istilah dissenting opinion.
Dissenting opinion dalam sengketa Pilpres 2024 yang diutarakan oleh 3 hakim MK dinilai menjadi yang pertama terjadi dalam sejarah hukum di Indonesia. Ketiga hakim MK, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, dalam pendapatnya secara garis besar menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Berbanding terbalik dengan pendapat kelima hakim lainnya, yang secara tegas menyatakan menolak permohonan pemohon baik yang diajukan oleh paslon nomor urut 1 Anies-Muhaimin maupun paslon nomor urut 3 Ganjar-Mahmud. Adanya perbedaan pendapat yang tidak dapat disatukan itu kemudian berujung kepada terjadinya dissenting opinion yang menjadi sejarah karena pertama kali terjadi dalam sengketa Pemilu.
Walaupun demikian, dissenting opinion yang diutarakan oleh ketiga hakim tidak berdampak besar pada hasil akhir yang kemudian dibacakan oleh hakim ketua MK Suhartoyo, yang memutus untuk menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Berkaitan dengan itu, setiap hakim MK memang mempunyai hak untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan isi putusan karena pendapat hakim inilah yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum dalam membangun amar putusan. Namun perlu diperhatikan, pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion) tidak dapat dijadikan rujukan sebagai dasar hukum karena berada pada posisi yang berseberangan dengan amar putusan. Dengan kata lain dissenting opinion dianggap tidak memiliki kekuatan yang mengikat namun harus tetap dimasukkan kedalam putusan dan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam akademik.