Perspektif Hukum Perdata Mengenai Bayi Tabung dan Sewa Rahim

Perspektif Hukum Perdata Mengenai Bayi Tabung dan Sewa Rahim

Seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia dipasangkan satu sama lain oleh Sang Pencipta alam untuk memiliki keturunan. Hal ini bertujuan agar setiap insan yang ada dimuka bumi ini dapat merasakan kebersamaan dan gotong royong apabila adanya kehadiran seorang anak di lingkungannya. Seorang anak merupakan impian besar dan dambaan setiap pasangan suami dan isteri untuk melengkapi keluarga kecilnya sebagaimana yang ditentukan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun pada faktanya, tidak semua pasangan suami dan isteri diberikan jalan yang mudah untuk mendapatkan seorang keturunan secara alamiah. Hal ini disebabkan oleh banyak hal seperti, penyakit pada organ reproduksi, permasalahan yang timbul diantara suami dan isteri untuk menunda kehamilan, stress yang berlebih, dan lain sebagainya. Hal tersebut tentu dapat menimbulkan keputusasaan terhadap pasangan suami dan isteri yang segara ingin mempunyai keturunan.

Berdasarkan fakta-fakta yang dipaparkan diatas, banyak dari pasangan suami dan isteri yang mengupayakan banyak cara untuk mendapatkan keturunan. Dengan adanya perkembangan teknologi di dunia kedokteran dijadikanlah wadah dan langkah awal bagi mereka yang ingin memiliki keturunan dengan cara yang tidak biasa, seperti adanya program bayi tabung dan sewa rahim. Untuk bayi tabung atau In Vitro Fertilization secara khusus belum diatur oleh hukum positif di Indonesia. Langkah awal dari proses bayi tabung atau In Vitro Fertilization ini ialah dengan adanya pengawetan sperma dan metode pembuahan diluar rahim yang mana akan terjadinya sebuah perkawinan dan pengkondisian antara sel sperma dengan sel telur yang dilakukan menggunakan media kultur dan dilaksanakan di Laboratorium Embriologi. Sedangkan dengan metode sewa rahim merupakan pembuahan benih laki-laki terhadap benih perempuan yang mana ditempatkan disuatu wadah untuk menghasilkan zygote, yang akan diimplantasikan kepada rahim wanita lain yang tidak mempunyai hubungan sama sekali terhadap pasangan suami dan isteri yang ingin memiliki anak. Hal ini dilakukan melalui perjanjian sewa (surrogacy) yang dikenal dengan istilah surrogate mother.

Dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat  dilakukan oleh pasangan suami dan isteri yang sah dan ketentuan:

  1. Hasil pembuatan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum berasal;
  2. Dilakukan oleh tenaga Kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
  3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Berdasarkan penjelasan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undnag No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, metode atau program untuk mempunyai keturunan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan melalui bayi tabung. Sebab, hal ini dijelaskan kembali dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/1/2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang menyatakan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terkait perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Berdasarkan kedua peraturan tersebut dapat dikatakan bahwa hanya melalui bayi tabung yang diperbolehkan untuk memiliki keturunan di luar cara alamiah pada umumnya.

Sewa rahim dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan perjanjian sewa menyewa. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana suatu orang mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Lahirnya suatu perjanjian apabila seseorang mengikatkan dirinya kepada pihak lain untuk memenuhi prestasi tertentu. Landasan hukum untuk perjanjian sewa rahim ini belum diatur dalam hukum positif di Indonesia, namun untuk mengkaji substansinya dapat digunakan Pasal 1320 KUHPerdata yang berkaitan dengan syarat-syarat sah dalam suatu perjanjian. Dalam perjanjian sewa rahim ini apabila dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata khususnya pada syarat objektif mengenai sebab yang halal menimbulkan banyak kontra yang mana prestasi yang akan dipenuhi merupakan rahim yang akan ditanami embrio dari pasangan orang tua biologis untuk mengandung dan melahirkan. Permasalahan yang timbul ialah apakah rahim tersebut dapat disamakan dengan barang yang dijadikan barang untuk sewa menyewa. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak dan dari isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun dengan ketertiban umum. Selain itu, suatu sebab yang halal berarti objek yang diperjanjikan bukanlah objek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh hukum.

Apabila kita mengkaji Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan isi atau materi dari perjanjian tersebut. Kemudian, apabila dihubungkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-syarat sah perjanjian, bagaimana kedudukan dari perjanjian sewa rahim tersebut ialah ketika pasangan suami isteri dan calon ibu pengganti sama-sama bersedia dan bersepakat untuk melaksanakan prestasi yang telah ditentukan oleh kedua pihak-pihak yang bersangkutan. Namun pada kasus surrogate mother, tidaklah pantas untuk dijadikkan objek perjanjian yang dipersamakan dengan benda atau barang karena rahim sudah melekat dengan subjek hukum yakni seorang wanita yang digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pembuahan sel telurnya oleh sperma. Walaupun pada kenyataannya rahim merupakan benda padat yang mana dapat dilihat dan dapat dipegang, namun bukan benda padat yang dimaksud oleh Pasal 499 KUHPerdata. Dengan demikian, dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan secara jelas hanya memperbolehkan mendapatkan keturunan di luar cara alamiah melalui bayi tabung.

Sumber Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
  • Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  • Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/1/2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan
Perspektif Hukum Indonesia, Bayi Tabung, Sewa Rahim, Keluarga, Hukum Kedokteran, Surrogacy, Surrogate Mother, Undang-Undang Kesehatan, Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan