Mengapa Perlu Adanya Jaminan Pada Perjanjian Utang Piutang?
Perjanjian utang piutang sebagai praktik hukum yang lumrah dan sering ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat. Perjanjian utang piutang dalam praktiknya sering dibuat secara tertulis ataupun tidak tertulis bahkan bermaterai ataupun tidak bermaterai, namun hal tersebut tidaklah menjadi persoalan terkait sah atau tidaknya suatu perjanjian yang dibuat (vide Pasal 1320 KUH Perdata). Menurut Pasal 1754 KUH Perdata yang secara jelas menyebutkan bahwa, “Perjanjian Pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”, dari Pasal tersebut mengenai pinjam meminjam dapat diartikan sama terkait hutang piutang. Utang piutang berarti adanya satu pihak yang memberikan pinjaman suatu barang (kreditur) dengan nilai tertentu kepada pihak lainnya yang menerima (debitur) dan suatu saat pihak menerima harus mengembalikan kepada pihak yang memberi senilai yang diterima atas kesepakatan bersama.
Dalam kenyataannya sering juga dijumpai orang yang diberikan utang (debitur) seringkali lalai dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur, bahkan dalam kasus tertentu tidak mengindahkan kewajibannya sama sekali. Hal ini tentulah membuat pihak kreditur kesusahan dalam menagih kewajiban debitur yang lalai dalam kewajibannya membayar hutang. Lalainya debitur dalam membayar hutang secara hukum disebut dengan istilah wanprestasi (vide Pasal 1243 KUH Perdata). Salah satu langkah hukum yang dapat ditempuh kreditur sebagai bentuk langkah represif atas wanprestasi debitur adalah mengatur mengenai jaminan dalam perjanjian hutang piutang. Pasal 1131 KUH Perdata menjelaskan, bahwa “Segala barang-barang bergerak dan tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”, jaminan atas utang tersebut berupa benda bergerak atau tidak bergerak haruslah diatur secara spesifik dan disepakati oleh para pihak dalam perjanjian utang piutang tersebut.
Perlunya mengatur jaminan pada perjanjian hutang piutang adalah bentuk mitigasi resiko secara hukum dan perlindungan hukum secara represif untuk pihak kreditur terhadap tindakan wanprestasi debitur. Karena adanya jaminan, kreditur memiliki keunggulan berupa opsi menggunakan jaminan sebagai langkah hukum untuk memenuhi kewajiban debitur yang lalai. Untuk menggunakan jaminan sebagai pemenuhan kewajiban debitur yang lalai, haruslah berdasarkan kesepakatan antara pemilik jaminan dengan kreditur atau berdasar pada perjanjian dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, serta tidak ada pihak yang keberatan (pihak ketiga) atas jaminan tersebut digunakan untuk pemenuhan kewajiban debitur. Keunggulan lainnya, jika permasalahan utang piutang berujung diselesaikan melalui gugatan perdata di pengadilan, maka pihak kreditur dapat meminta kepada majelis hakim untuk meletakan sita jaminan Consevatoir beslag (CB) berdasarkan Pasal 227 HIR pada objek yang dijaminkan pada perjanjian utang piutang.