Perkawinan Siri di Indonesia

Perkawinan Siri di Indonesia

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (untuk selanjutnya disebut UU Perkawinan). Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun dalam melaksanan perkawinan terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UU Perkawinan. Jika beberapa persyaratan tersebut telah dipenuhi maka barulah seseorang dapat melangsungkan perkawinannya.

Pada dasarnya (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinan), sebuah perkawinan dapat dikatakan sah apabila perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama muslim dilakukan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Urusan Agama, sedangkan  pencatatan perkawinan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama non muslim dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor  Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Apabila perkawinan tersebut telah dicatatkan, maka perkawinan menjadi sah di mata Negara dan telah memiliki kekuatan hukum. Bagi yang mencacatkan menurut agama muslim, maka akan mendapatkan Buku Nikah dan bagi yang mencatatkan menurut agama non muslim akan mendapatkan Akta Perkawinan.

Namun pada kenyataannya di Indonesia, kita banyak mendengar atau membaca berita baik public figure atau masyarakat pada umumnya dapat melangsungkan perkawinan tanpa mencatatkannya ke pihak terkait, yang hal itu kemudian dikenal dengan istilah Perkawinan Siri.

Dalam UU Perkawinan tidak dikenal adanya perkawinan siri, karena pada dasarnya UU mengatur untuk setiap perkawinan harus dicatatkan. Jika berdasarkan UU Perkawinan, maka perkawinan siri akan dianggap tidak sah dan artinya Negara tidak mengakui adanya suatu perkawinan. Hal ini tentu akan menimbulkan permasalahan mengenai status perkawinan dan akibat hukum bagi yang melangsungkan perkawinan tidak sah tersebut.

Namun bila kita melihat berdasarkan hukum Islam, maka dikenal adanya perkawinan siri yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa perkawinan sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat perkawinan yang sah menurut hukum Islam apabila telah memenuhi 5 rukun yaitu adanya calon suami, calon istri, wali nikah dari calon mempelai perempuan, 2 orang saksi nikah, dan berlangsungnya ijab Kabul. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdasarkan hukum Islam, maka sebuah perkawinan dapat dikatakan sah tanpa harus dengan mencatatkannya atau perkawinan siri. Dalam KHI hanya mengatur bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam maka perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, sebagaimana tercatum dalam Pasal 5 KHI.

Menurut pandangan masyarakat Islam mengenai nikah, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

  • Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita, dan
  • Nikah siri atau nikah di bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari lembaga resmi negara (KUA).

Apabila perkawinan dilakukan tanpa wali, maka status perkawinan terebut dianggap batal. Selanjutnya jika yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah tangan (dalam arti tidak dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang mengatur), maka status hukumnya sah secara agama Islam, namun tidak sah menurut hukum Indonesia (UU Perkawinan).

Sumber:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam

perkawinan, perkawinan siri, perkawinan sah, perkawinan tidak didaftarkan, hukum perkawinan, kompilasi hukum islam, uu perkawinan, perkawinan siri menurut hukum islam