Perkawinan Campuran di Indonesia

Bagaimana Perkawinan Campuran di Indonesia?

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia dan dianggap sebagai suatu peristiwa yang sakral dan oleh karenanya sangat mengandalkan unsur-unsur religius dalam kelangsungannya. Religiositas dalam perkawinan tergambar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Definisi perkawinan ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Mengingat pentingnya Ketuhanan dan agama dalam perkawinan, akan timbul masalah apabila perkawinan dilangsungkan dengan agama yang berbeda. Fenomena perkawinan beda agama di Indonesia inilah yang sampai sekarang masih marak terjadi tetapi menimbulkan pro dan kontra, apakah perkawinan beda agama diperbolehkan atau tidak, terlebih UU Perkawinan sendiri tidak secara jelas mengatur tentang perkawinan beda agama. Setiap agama pun mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai perkawinan beda agama.

Ada perbedaan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 26 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”. Artinya, perkawinan yang sah berdasarkan KUHPerdata hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUHPerdata.

Berbeda dengan perkawinan menurut UU Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dari kedua pasal tersebut, dapat dilihat bahwa perkawinan menurut UU Perkawinan mementingkan unsur agama dan kepercayaan, sedangkan dalam KUHPerdata tidak.

UU Perkawinan tidak secara jelas menerangkan mengenai sah atau tidaknya perkawinan beda agama. Penjelasan dalam UU Perkawinan hanya dituangkan secara tersirat dalam dua pasal, yaitu:

  • Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
  • Pasal 8 UU Perkawinan: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: …… f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”

Apa itu perkawinan campuran?

Menurut Pasal 1 Reglement op de Gemengde Huwelijken (GHR):

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan. Termasuk di sini, perkawinan berbeda agama, berbeda kewarganegaraan, dan berbeda golongan penduduk (mengingat adanya penggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda).”

Menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU ini ialah perkawinan antara dua org yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Dapat dilihat pengertian Perkawinan Campuran menurut UU Perkawinan lebih sempit daripada pengertian yang terdapat dalam GHR karena perkawinan beda agama tidak termasuk dalam pengertian Perkawinan Campuran menurut UU Perkawinan.

Jadi, apakah perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU Perkawinan termasuk juga perkawinan beda agama?

Menurut pendapat Prof Koesnoe, perkawinan campuran tidak termasuk perkawinan beda agama. Sedangkan Dr Ichtiyanto berpendapat bahwa perkawinan campuran dalam Pasal 57 UU Perkawinan mengandung 3 gagasan, yaitu:

  • Perkawinan antara 2 (dua) orang Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan beda agama;
  • Perkawinan antara 2 (dua) yang berbeda kewarganegaraan dan salah satu pihak warga negara Indonesia;
  • Perkawinan antara 2 (dua) orang asing atau sesama warga negara asing.

Lalu bagaimana apabila perkawinan campuran dilangsungkan di luar Indonesia?

Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara seorang WNI dengan seorang WNA sah jika dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini”

Namun, dalam hal agar perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar negeri tersebut dapat dinyatakan sah menurut hukum Indonesia, dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Catatan Sipil yang mewilayahi tempat tinggal mereka sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat 2 UU Perkawinan.

Bagaimana apabila perkawinan tersebut tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil?

Apabila perkawinan tersebut tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil lewat dari waktu yang ditetapkan maka harus melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili yang bersangkutan dan akan dikenakan sanksi denda sesuai dengan Peraturan Daerah setempat jo Pasal 107 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang berbunyi:

“Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105 ayat (2) dan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Daerah.

Penetapan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhatikan Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing.

Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan daerah Kabupaten/Kota, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan penerimaan daerah Provinsi.”

Dengan demikian, dalam perkawinan campuran hendaknya para pihak yang terlibat harus mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak menguntungkan baik bagi pasangan suami istri dalam perkawinan campuran tersebut terutama baik anak-anak yang akan dilahirkan dari perkawinan campuran beda kewarganegaraan sehingga hak anak untuk tumbuh dalam suasana yang konduktif dapat terwujud.

Sumber:

Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Reglement op de Gemengde Huwelijken (GHR)

Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

perkawinan, perkawinan campuran, perkawinan beda agama, perkawinan beda kewarganegaraan, perkawinan di luar negeri, hukum perkawinan, perkawinan di indonesia, perkawinan tidak dicatatkan, hukum keluarga, uu perkawinan