Perjanjian Perkawinan di Indonesia

Perjanjian Perkawinan di Indonesia

Berdasarkan Hukum Perdata di Indonesia, dikenal adanya istilah Perjanjian Perkawinan (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian Perkawinan diatur dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPer) dan Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (untuk selanjutnya disebut UU Perkawinan). Secara umum, Perjanjian Perkawinan dapat diartikan sebagai kesepakatan bersama kedua belah pihak yang dibuat secara tertulis, yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Perjanjian Perkawinan biasanya dibuat dengan tujuan kedua belah pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan mempunyai harta benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan (misalnya warisan), ingin memisahkan harta bendanya. Namun tidak sebatas pemisahan harta saja, kedua belah pihak juga dapat membuat bentuk dan isi Perjanjian Perkawinan lainnya dengan ketentuan bahwa perjanjian harus sesuai dengan batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Apabila melanggar hal-hal tersebut, maka Perjanjian Perkawinan tidak dapat disahkan.

Pada mulanya berdasarkan KUHPer dan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, Perjanjian Perkawinan  hanya bisa dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau dapat disebut juga Prenuptial Agreement. Perjanjian tersebut kemudian berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Namun sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 (untuk selanjutnya disebut Putusan MK 69/2015), maka pada saat ini Perjanjian Perkawinan dapat dibuat sebelum atau setelah dilangsungkannya perkawinan. Putusan tersebut dikeluarkan setelah adanya pengajuan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Nyonya Ike Farida untuk melakukan pengujian konstitusional (constitution review) terhadap Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan Pasal 36 ayat (1) UUPA, serta Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian yaitu terkait pengujian materil terhadap Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU Perkawinan, bahwa sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan  oleh pegawai  pencatat  perkawinan atau notaris setelah isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Berkaitan dengan Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, maka terdapat perbedaan sebelum dan sesudah adanya Putusan MK. Berdasarkan Putusan MK 69/2015 tersebut, Perjanjian Perkawinan tidak hanya berlaku sejak perkawinan dilangsungkan tetapi juga bisa berlaku apabila ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan oleh kedua belah pihak. Perbedaan lainnya yaitu berkenan dengan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, maka bunyi pasal pasca adanya Putusan MK 69/2015 adalah selama perkawinan berlangsung, Perjanjian Perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Dengan demikian sejak adanya Putusan MK 69/2015, Perjanjian Perkawinan bisa dibuat tidak hanya oleh kedua calon yang akan melangsungkan perkawinan (Prenuptial Agreement), tetapi juga dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang masih terikat dalam sebuah hubungan perkawinan (Postnuptial Agreement).

Sumber:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  • Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015
Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Prenuptial Agreement, Postnuptial Agreement, Putusan MK, Constitution Review