Bagaimana Kedudukan Hukum dari Anak Luar Kawin?
Anak adalah karunia Tuhan, ungkapan tersebut sering terdengar ditelinga kita. Ketika seorang anak lahir, anak tersebut akan menyandang status hukum yang berkaitan dengan status perkawinan dari orang tuanya. Mengacu pada peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sedikitnya ada dua kedudukan seorang anak yaitu anak sah dan anak luar perkawinan.
Anak sah adalah anak yang dilahirkan setelah orang tuanya menjalani perkawinan yang sah. Sebuah perkawinan dinyatakan sah saat perkawinan tersebut dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Terkait dengan pengertian anak luar kawin sedikitnya ada dua pengertian tentang anak luar kawin yaitu yang pertama adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Dan yang kedua adalah anak dibenihkan di luar perkawinan, tapi dilahirkan setelah orang tuanya melakukan perkawinan.
Pada Pasal 50 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diperbarui menjadi UU No. 24 Tahun 2013 menytakan pada intinya menyebut pengesahan anak wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana paling lambat 30 hari sejak ayah dan ibu dari anak itu melakukan perkawinan dan mendapat akta perkawinan. Ketentuan itu dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengesahan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010
Kedudukan hukum anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang merupakan uji materi terhadap UU No.1 Tahu 1974 tentang Perkawinan, diatur pada Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan setelah putusan MK tersebut bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Bagaimana Hak Waris terhadap Anak Luar Kawin?
Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin diatur pada Pasal 862 - Pasal 866 KUHPerdata:
- Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah (Pasal 863 KUH Perdata);
- Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4 (Pasal 863 KUH Perdata);
- Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya baru dibagi-bagi antara para waris yang sah (Pasal 864 KUH Perdata);
- Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka memperoleh seluruh warisan (Pasal 865 KUH Perdata)
- Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka ia dapat digantikan anak-anaknya (yang sah) (Pasal 866 KUH Perdata).
Jadi, menurut pengaturan KUH Perdata, waris mewaris hanya berlaku bagi anak luar kawin yang diakui oleh ayah dan/atau ibunya. Tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibu, anak luar kawin tidak mempunyai hak mewaris.
Berbeda halnya dengan hukum waris Islam yang berlaku di Indonesia. Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) UUP jo. pasal 100 KHI). Sehingga anak luar kawin tersebut hanya bisa mewaris dari keluarga ibu biologisnya saja.
Sumber:
- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010
- UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
- KUHPerdata
- Kompilasi Hukum Islam