Apakah Perjanjian Nominee yang dibuat oleh notaris dalam hal kepemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) sah dan mempunyai kekuatan mengikat?
Nominee berasal dari bahasa Inggris yang berarti “seseorang atau perusahaan yang namanya digunakan untuk pembelian suatu benda seperti saham, tanah dan bangunan, dan lainnya tetapi sebenarnya bukan pemilik asli dari benda tersebut”. Apabila seseorang ingin meminjam nama orang lain agar dapat memiliki suatu benda, maka terhadap kedua orang tersebut dapat dibuat perjanjian nominee. Perjanjian nominee atau perjanjian pinjam nama umumnya dibuat dalam bentuk akta otentik oleh Notaris.
Salah satu jenis perjanjian nominee yang umum dilakukan ialah perjanjian nominee atas kepemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing (WNA). WNA yang ingin memiliki tanah dan/atau bangunan dengan status hak milik di Indonesia akan melakukan perjanjian nominee. Isi perjanjian tersebut ialah WNA meminjam nama Warga Negara Indonesia (WNI) agar dapat memiliki tanah dan/atau bangunan dengan status hak milik sehingga tanah dan/atau bangunan tersebut adalah atas nama WNI (secara de jure), tetapi kepemilikannya tetap berada pada WNA (secara de facto).
Lantas, mengapa WNA harus repot-repot menggunakan nama WNI untuk membeli tanah dan/atau bangunan dengan status hak milik? Hal ini karena ada Pasal 21 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria) yang menyatakan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. Dengan demikian, WNA tidak boleh mempunyai tanah dan/atau bangunan dengan status hak milik. WNA hanya boleh mempunyai tanah dan/atau bangunan yang berstatus hak pakai, dengan syarat WNA tersebut haruslah berkedudukan di Indonesia (Pasal 42 UU Agraria). Perjanjian nominee kemudian muncul sebagai sarana untuk menyiasati aturan larangan kepemilikan hak atas tanah bagi WNA sehingga WNA bisa mempunyai tanah di Indonesia dengan meminjam nama WNI. Dengan demikian, perjanjian nominee ini merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum.
Dengan adanya penyelundupan hukum ini, bagaimana keabsahan dan kekuatan mengikat perjanjian nominee tersebut? Pasal 26 ayat (2) UU Agraria menyatakan bahwa setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Oleh karena itu, perjanjian nominee yang dibuat oleh para pihak adalah batal demi hukum dan kemudian tanah dan/atau bangunan yang diperjanjikan akan jatuh kepada negara.
Selain karena adanya aturan dalam UU Agraria, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan empat syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Perjanjian nominee tidak memenuhi syarat ‘sebab yang halal’ karena sebab dibuatnya perjanjian ini adalah untuk melakukan hal yang dilarang oleh undang-undang, yaitu untuk WNA menguasai dan mempunyai tanah hak milik. Dengan demikian, karena perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum sehingga perjanjian nominee yang dibuat oleh para pihak menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Sumber hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.