Bagaimana ketentuan harta bersama dalam suatu perkawinan?
Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga timbul hubungan dalam perkawinan tersebut terutama harta perkawinan. Harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri, khususnya apabila mereka bercerai. Harta perkawinan diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebelum UU Perkawinan yang berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 secara nasional merubah seluruh hukum harta benda perkawinan dimulai dari tahun 1975.
Perkawinan yang dilakukan sebelum tahun 1975
Ketentuan dalam Pasal 119 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri.”
Dengan demikian, jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan, terjadilah percampuran harta di antara suami dan istri terhitung sejak perkawinan terjadi. Akibatnya harta istri menjadi harta suami, demikian pula sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai harta bersama. Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara suami dan istri. Pembagian terhadap harta bersama tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian yang didapatkan dan dilakukan oleh pasangan suami/istri tersebut selama dalam perkawinan.
Kecuali jika suami istri membuat perjanjian harta terpisah melalui Perjanjian Perkawinan (Huwelijke Voorwaarden) yang diatur dalam Pasal 139 KUHPerdata bahwa:
“Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini.”
Oleh karena itu, jika sebelum perkawinan telah dibuat perjanjian kawin terkait pemisahan harta yang mencakup seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut, maka tidak dikenal istilah harta bersama (harta gono gini). Apabila terjadi perceraian, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama masing-masing.
Perkawinan yang dilakukan sesudah tahun 1975 (setelah 1 oktober 1975)
Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; dan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dn harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Peraturan pada UU Perkawinan ini sedikit berbeda dengan pengaturan sebelum berlakunya UU Perkawinan. Dalam KUHPerdata, semua harta suami dan istri menjadi harta bersama, sedangkan dalam UU Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Apabila terjadi perceraian, maka harta yang dibagi adalah ½ (setengah) dari harta bersama yag didapat selama perkawinan sehingga jika ingin menghitung harta peninggalan maka yang menjadi harta peninggalan adalah ½ (setengah) dari harta bersama + harta bawaan (pribadi) yang didapat sebelum perkawinan. Namun, jika ada Perjanjian Perkawinan, maka tidak akan ada harta bersama (gonogini).
Sumber:
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan