Hak Waris Anak Tiri

Apakah anak tiri berhak mendapatkan warisan berdasarkan Hukum Perdata?

Anak tiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah anak bawaan suami atau istri yang bukan hasil perkawinan dengan istri atau suami yang sekarang. Sebagai contoh, seorang laki-laki bernama Ahmad menikah dengan perempuan bernama Bintang. Ahmad dan Bintang mempunyai anak bernama Clara. Setelah beberapa tahun menikah, Ahmad dan Bintang memutuskan bercerai karena adanya ketidakcocokan di antara mereka. Hak asuh anak pasca perceraian jatuh ke tangan Ahmad. Beberapa tahun kemudian, Ahmad menikah lagi dengan Dewi dan melahirkan seorang anak bernama Erwin. Pada situasi ini, Clara menjadi anak tiri dari Dewi.

Proses pembagian waris di Indonesia bisa dilakukan berdasarkan hukum perdata, hukum Islam, maupun hukum adat sehingga para ahli waris dapat menyepakati bersama hukum waris apa yang ingin digunakan pada saat pewaris meninggal dunia. Hukum perdata sendiri mengatur persoalan waris pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 832 KUHPerdata menyatakan bahwa yang berhak menjadi ahli waris menurut undang-undang ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama.

Mengenai hak waris anak tiri, Pasal 852 KUHPerdata menyatakan: “anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu”. Dari pasal ini, dapat kita lihat bahwa anak, meskipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, tetap mewaris asalkan ia ada hubungan darah dengan pewarisnya. Dengan demikian, berdasarkan contoh di atas, apabila Ahmad sebagai ayah meninggal dunia, Clara sebagai anak bawaan dari perkawinan sebelumnya berhak mendapatkan waris dari Ahmad sehingga ahli warisnya adalah Dewi, Clara, dan Erwin. Ketiganya sebagai ahli waris mendapat bagian yang sama besar.

Lantas, bagaimana jika yang meninggal adalah Dewi sebagai ibu tiri dari Clara? Apabila Dewi meninggal dunia (dalam keadaan Ahmad sebagai suami masih hidup), yang berhak menjadi ahli waris hanyalah Ahmad dan Erwin saja. Clara tidak mendapat bagian dari Dewi karena antara Dewi dan Clara tidak ada hubungan darah. Apabila Dewi ingin memberikan warisan kepada Clara, Dewi bisa mendatangi Notaris untuk dibuatkan akta hibah wasiat yang isinya menghibahwasiatkan harta tertentu kepada Clara sebelum Dewi meninggal dunia.

Perlu diingat bahwa harta perkawinan dalam hukum perdata terbagi menjadi dua jenis, yaitu harta bawaan dan harta bersama. Harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan. Apabila antara suami dan istri tidak pernah dibuat perjanjian kawin, maka harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sehingga apabila suami atau istri meninggal dunia, harta tersebut harus dibagi dua terlebih dahulu, barulah ½ dari harta bersama ditambah dengan harta bawaan dibagi rata kepada ahli waris. Penjelasan lebih detail mengenai pembagian waris ada pada artikel ‘Pembagian Harta Warisan Apabila Suami Meninggal Dunia’.

Bagaimana dengan mantan istri, apakah ia mendapat warisan? Hanya seseorang yang berstatus suami atau istrilah yang berhak mendapat waris karena hubungan perkawinan. Mantan istri tidak mendapat warisan karena hubungan perkawinan antara suami dan istri telah putus karena perceraian. Selain itu, setelah perceraian dilakukan, mantan suami dan mantan istri telah melakukan pembagian harta bersama sehingga mantan istri sudah mendapatkan haknya.

Sumber hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Tags: hak waris anak bawaan istri, hak waris anak bawaan suami, hak waris anak tiri, hak waris mantan istri, harta warisan anak tiri, hukum perdata, kuhperdata, warisan anak tiri, harta waris anak tiri