Hak Waris Anak Luar Kawin

Bagaimana pewarisan untuk anak luar kawin?

Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris yang disebabkan karena pewaris telah meninggal. Indonesia mengatur hukum waris di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Ketentuan pada Pasal 832 KUHPerdata menyatakan bahwa:

Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka ahli waris dapat merupakan anak sah maupun anak luar kawin. Ketentuan Pasal 280 KUHPerdata juga menyatakan bahwa:

“Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.”

Berdasarkan pasal tersebut, jelas KUHPerdata mengakui keberadaan anak di luar kawin untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris sepanjang telah diakui secara sah menurut undang-undang.

Namun ada pertentangan antara KUHPerdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) mengenai hak waris anak luar kawin. Dalam UU Perkawinan hanya mengakui anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah yang merupakan anak sah. Kemudian di dalam Pasal 43 ayat (1) menyakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sehingga menurut UU Perkawinan, anak luar kawin tidaklah berhak mendapatkan warisan dari ayah yang sebenarnya berdasarkan hubungan darah.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan terkait kedudukan anak di luar kawin. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang amar putusannya adalah sebagai berikut:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”

Dengan demikian tidak terdapat pertentangan aturan lagi antara KUHPerdata dengan UU Perkawinan dan telah mengakui kedudukan anak di luar kawin terhadap ayahnya dalam hal waris pada khususnya dan dalam hubungan hukum perdata lainnya pada umumnya sepanjang ayah dari anak tersebut dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Walaupun demikian, terdapat syarat-syarat terhadap pengakuan anak di luar kawin berdasarkan KUHPerdata, yaitu:

  1. Pengakuan terhadap anak di luar kawin dapat dilakukan dengan suatu akta otentik (Pasal 281 KUHPerdata)
  2. Pengakuan anak di luar kawin dilakukan oleh orang yang cukup umur, yaitu telah mencapai sembilan belas tahun. Kecuali terhadap anak perempuan di bawah umur boleh melakukan pengakuan itu. (Pasal 282 KUHPerdata)
  3. Anak yang bukan dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (Pasal 283 KUHPerdata)
  4. Pengakuan anak di luar kawin diterima selama mendapatkan persetujuan dari ibunya apabila ibunya masih hidup (Pasal 284 KUHPerdata)

Setelah mengetahui posisi anak luar kawin sebagai ahli waris, maka mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin ini diatur dalam Pasal 862 s.d. Pasal 866 KUH Perdata, bahwa:

  1. Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah (Pasal 863 KUH Perdata);
  2. Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4 (Pasal 863 KUH Perdata);
  3. Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya baru dibagi-bagi antara para waris yang sah (Pasal 864 KUH Perdata);
  4. Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka memperoleh seluruh warisan (Pasal 865 KUH Perdata)
  5. Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka ia dapat digantikan anak-anaknya (yang sah) (Pasal 866 KUH Perdata).

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Hukum waris, anak luar kawin, anak luar kawin diakui sah, alkds, anak sah, pewarisan, waris, uu perkawinan, perkawinan sah, harta, hak waris, kedudukan mewaris