Eigenrichting: Main Hakim Sendiri yang Berujung Pidana

Benarkah Main Hakim Sendiri Dapat Membuat Kita Kena Pidana?

Eigenrichting atau lebih akrab dengan sebutan “main hakim sendiri” mungkin sudah bukan menjadi hal baru untuk sebagian besar masyarakat. Tindakan main hakim sendiri merupakan tindakan penyerangan yang dilakukan terhadap orang lain yang dianggap bersalah atau kata lainnya menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Biasanya perbuatan itu dilakukan secara beramai-ramai atau berkelompok dengan melakukan penyerangan, pemukulan, kekerasan, atau perusakan secara tiba-tiba dan sengaja sebagai bentuk pelampiasan emosi.

Seringnya kita melihat tindakan main hakim sendiri setelah tertangkapnya pelaku yang diduga pencuri, warga yang geram atas tindakan pelakupun akhirnya memberi hukuman lebih dulu dengan memukuli pelaku hingga babak belur. Namun seiring dengan perkembangan jaman, eigenrichting juga sudah merubah sudut pandang masyarat modern masa kini. Jika dulu pengeroyokan umum dilakukan karena adanya pelaku yang diduga melakukan tindak kejahatan, dimasa serba teknologi saat ini pengeroyokan bisa dilakukan di media sosial dalam bentuk memberikan kata-kata negatif beramai-ramai untuk menyerang seseorang yang padahal belum tentu dia melakukan kesalahan seperti yang disangkakan.

Bagi sebagian masyarakat main hakim sendiri mungkin diangap tindakan yang wajar-wajar saja dilakukan sebagai bentuk pelampiasan emosi atas perbuatan pelaku kejahatan yang menimbulkan kerugian maupun korban.

Tapi taukah kalian jika ternyata pelaku main hakim sendiri dapat kena pidana?

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak mengenal istilah main hakim sendiri, namun terdapat beberapa pasal yang masih memiliki keterkaitan dengan perbuatan main hakim sendiri, diantaranya:

  1. Pasal 170 KUHP tentang kekerasan dengan hukuman penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
  2. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang dapat dihukum pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
  3. Pasal 406 KUHP tentang perusakan dengan hukuman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan

Tentunya sebesar apa atau berapa lama hukuman pidana dapat diberikan kepada pelaku bergantunng dari seberapa parah tindakan yang telah dilakukan. Pelaku perbuatan main hakim sendiri dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika memenuhi unsur: 1) mampu bertanggungjawab, 2) dilakukan secara sengaja atau lalai, serta 3) tidak adanya alasan pemaaf. Secara garis besar, jika pelaku main hakim sendiri mengakibatkan korban terluka atau bahkan meninggal dunia maka atas perbuatannya dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum.

Mampu bertanggung jawab artinya keadaan jiwanya waras dan bukan merupakan orang gila yang sudah pasti tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban. Dilakukan secara sengaja artinya pelaku secara dasar menyadari apa yang telah diperbuatnya. Dan tidak adanya alasan pemaaf dapat diartikan bahwa pelaku pada saat itu sedang merasa geram dan kesal atas tindakan pelaku sehingga secara spontan melakukan pembalasan dendam.

Tindakan main hakim sendiri yang melanggar ketentuan dalam tiga pasal yang telah disebutkan diatas yaitu kekerasan, penganiayaan, atau perusakan dapat dijadikan dasar bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan perkara tersebut ke pengadilan agar mendapat keadilan dari majelis hakim yang memutus perkara. Tentunya tindakan yang membahayakan orang lain harus dipertanggungjawabkan dimuka peradilan atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Lalu bagaimana dengan penyerangan di media sosial?

Penyerangan di media sosial jika dibayangkan mungkin terkesan biasa dan tidak akan menimbulkan kerugian seperti tindakan yang terjadi didunia nyata. Namun kenyataan yang terjadi adalah main hakim sendiri di media sosial dengan menjelek-jelekkan seseorang menggunakan kata-kata kasar hingga menuduh perbuatan yang belum tentu benar terjadi dapat berdampak langsung kepada korban.

Bagi korban yang mengalami penyerangan di media sosial dengan cara di banjiri kata-kata negatif yang ternyata kebenarannya berbanding terbalik dengan yang dituduhkan oleh banyak orang, dapat merugikan nama baik korban yang akan dicap negatif oleh orang-orang disekitarnya. Istilah ini biasa dikenal dengan fitnah. Jika sudah seperti ini korban akan merasa takut untuk bersosialisasi, tidak hanya secara daring tapi juga di kehidupan nyata.

Sama seperti KUHP, UU ITE juga tidak mengenal istilah main hakim sendiri, namun terdapat beberapa pasal yang dirasa memiliki makna yang sama dengan main hakim sendiri, diantaranya:

  1. Pasal 27A UU ITE tentang pencemaran nama baik yang dapat dikenakan pidana penjara paling lama 2 (tahun) dan/atau denda paling banyak Rp 400 juta
  2. Pasal 45 ayat (6) UU ITE tentang fitnah dapat dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta

Kesimpulannya, sebagai bagian dari masyarakat sudah sepatutnya kita bijak dalam mengambil tindakan agar tidak merugikan orang lain. Kita harus sadar bahwa tindakan main hakim sendiri bukanlah perbuatan yang patut dibenarkan namun merupakan sebuah perbuatan tidak terpuji yang hanya akan menimbulkan masalah baru. Sudah seharusnya sebagai warga masyarakat yang berpendidikan, kita lebih dulu menggedepankan hukum sebagai bentuk pembalasan yang tepat atas tindak kejahatan. Biarkan hukum yang menentukan pembalasan apa yang setimpal diberikan atas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan.

Eigenrichting, Main Hakim Sendiri, Kekerasan, Penganiayaan, Perusakan, Pencemaran Nama Baik, Fitnah, Pidana, KUHP, UU ITE