Dapatkah bercerai hanya karena bosan?
Perkawinan memiliki suatu tujuan yag diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yaitu adalah untuk membentuk keluarga keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka dari itu baik suami mau pun istri sedianya saling membantu dan melengkapi satu sama lain, mewujudkan harmonisasi dalam keluarga dan mencapai kesejahteraan baik secara spiritual dan materiil. Oleh karena undang-undang sudah mengatur tujuan perkawinan ini, tentunya peraturan ini ada sebagai prinsip untuk mempersulit dan meminimalisir terjadinya perceraian.
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukunĀ lagi sebagai suami isteri (Soemiyati, 1982:12). Dalam pengertian perceraian dikatakan bahwa perlu alasan yang cukup untuk melakukan perceraian, dan alasan-alasan ini akan dibuktikan dalam persidangan di pengadilan. Perceraian pun tidak dapat dilakukan semudah membalik telapak tangan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1 UU Perkawinan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Perkawinan diatur bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan bagi yang beragama selain Islam gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri.
Lalu, alasan apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian?
Hal ini diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP Perkawinan), bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan sebagai berikut:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yagn sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
- Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukn lagi dalam rumah tangga.
Dasar-dasar yang dapat berakibat perceraian perkawinan juga diatur dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER) antara lain:
- Zina;
- Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk;
- Dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan;
- Pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dan suami isteri itu terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya.
Oleh karena itu perceraian tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa adanya alasan yang jelas, hal ini juga dikarenakan akan timbulnya beberapa akibat yang diatur dalam Pasal 41 UU Perkawinan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Salah satu hal paling penting yang perlu dipertimbangkan oleh suami isteri sebelum memutuskan untuk bercerai adalah masalah anak yang telah dilahirkan dalam perkawinan itu. Dalam hal ini perceraian akan membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu anak harus memilih untuk ikut ayah atau ikut ibunya. Tentunya hal ini menyebabkan dampak yang kurang baik bagi anak terutama jika sang anak masih dibawah umur. Tidak hanya masalah akan hak asuh anak, akibat yang paling pokok dari putusnya hubungan perkawinan adalah pembagian harta bersama. Jika sebelum melakukan perkawinan tidak dilakukan perjanjian pisah harta, maka harta yang didapat selama perkawinan harus dibagi saat bercerai.
Dengan demikian perceraian bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, bagi pasangan suami istri sebaiknya menjalani kehidupan perkawinan sesuai tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dari akibat perceraian.
Sumber Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan