Apakah aborsi diperbolehkan jika dilakukan oleh korban pemerkosaan?
Aborsi menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti pengguguran. Penggugguran kandungan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Aborsi provocatus merupakan istilah lain yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Dalam dunia hukum, istilah aborsi berarti penghentian kehamilan atau matinya janin sebelum waktu kelahiran.
Pada dasarnya, aborsi adalah suatu tindakan yang sangat dibenci oleh kalangan masyarakat dan tentunya juga merupakan hal yang dilarang oleh agama. Lalu, bagaimana pandangan segi hukum terkait tindakan aborsi ini?
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan aborsi merupakan suatu tindak pidana. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 346, 347 dan 348 KUHP bahwa:
- Pasal 346 KUHP: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
- Pasal 347 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
- Pasal 348 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Dengan demikian, tindakan aborsi merupakan suatu tindakan yang secara tegas dilarang oleh KUHP sehingga jika dilakukan dapat dijerat Pasal 346, 347 atau 348 KUHP.
Pelarangan tindakan aborsi ini juga dapat kita temukan pada Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Namun, pada Pasal 75 ayat (2) terdapat beberapa pengecualian atas larangan tindakan aborsi tersebut yaitu sebagai berikut:
“Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
- Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
- Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan."
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, aborsi diperbolehkan jika dilakukan oleh korban pemerkosaan. Hal ini sejalan dengan adanya asas Lex Specialis derogate Lex Generali yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Dengan demikian, Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan mengesampingkan Pasal 346, 347 dan 348 KUHP.
Walaupun demikian, sesuai Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan, tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Beberapa ketentuan pada Pasal 76 UU Kesehatan lebih lanjut mengatur, aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan yaitu sebagai berikut:
- Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
- Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
- Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
- Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
- Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Berdasarkan penjelasan di atas, para korban pemerkosaan dapat melakukan aborsi apabila dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tindakan aborsi dilakukan dengan tidak sesuai atau diluar ketentuan perundang-undangan yang terkait, maka tindakan tersebut dapat dijerat hukum pidana.
Sumber Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- Kamus Besar Bahasa Indonesia