Seberapa serius hukum Indonesia memandang tindakan pemalsuan dokumen?
Konflik tudingan ijazah palsu milik Presiden ke-7 RI Joko Widodo oleh beberapa oknum hingga saat ini sepertinya belum memiliki titik terang. Terlepas dari benar atau tidaknya tudingan tersebut, isu ini membuka ruang diskusi yang lebih besar tentang maraknya pemalsuan ijazah dan lemahnya verifikasi dokumen di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu pemalsuan dokumen seperti ijazah dan sertifikat keahlian kembali mencuat ke permukaan. Tak hanya menyeret nama-nama publik figur, praktik ini juga sering ditemukan dalam proses rekrutmen, bahkan pencalonan pejabat. Sayangnya, masih banyak orang yang menganggap hal ini sepele padahal konsekuensinya bisa sangat serius lho.
Banyak yang menganggap pemalsuan dokumen sebagai pelanggaran ringan. Padahal, dari sisi hukum pidana, tindakan ini dapat berujung pada pidana penjara hingga enam tahun. Praktik seperti ini bukan hanya mencoreng integritas, tapi juga berisiko tinggi secara hukum. Kejadian ini menjadi pengingat bahwa pemalsuan dokumen bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bisa berdampak besar terhadap kepercayaan publik dan integritas sistem hukum kita
Sebelum membahas hukuman pidana bagi pelaku pemalsuan, mari kita sama-sama pahami dulu mengenai pengertian dari pemalsuan dokumen.
Pemalsuan surat/dokumen adalah tindakan membuat atau mengubah suatu dokumen seolah-olah sah dan benar, padahal isinya palsu atau tidak sesuai fakta. Tujuannya bisa bermacam-macam, bisa untuk mendapatkan pekerjaan, menaikkan status sosial, mengikuti seleksi tertentu, atau bahkan hanya untuk mendapatkan kepercayaan orang lain. Tidak hanya ijazah pendidikan dan sertifikat keahlian saja yang kerap dipalsukan, tetapi dokumen lainnya seperti surat izin praktik, surat pengalaman kerja, bahkan identitas diri seperti KTP atau akta lahir juga kerap dipalsukan.
- Berdasarkan KUHP Pasal 263, secara garis besar menjelaskan seseorang yang dengan sengaja memalsukan surat demi mendapat keuntungan dengan maksud untuk digunakan seolah-olah isinya benar, bisa diancam dengan pidana penjara maksimal 6 tahun.
- Sedangkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 69 ayat (1), menjelaskan bagi yang secara sadar dengan sengaja menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik gelar profesi atau bahkan vokasi yang palsu, bisa dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta).
Perlu diperhatikan, tidak semua kasus bisa langsung diproses pidana. Hukum pidana memerlukan unsur niat dan penggunaan. Misalnya, sekadar menyimpan ijazah palsu di rumah tanpa pernah menggunakannya bisa jadi tidak diproses, kecuali ada indikasi akan digunakan untuk menipu.
Selain itu, hukum pidana juga mengenal masa daluwarsa (kedaluwarsa). Untuk kasus pemalsuan dokumen, umumnya daluwarsa terjadi 12 tahun sejak perbuatan dilakukan. Namun jika dokumen palsu masih terus digunakan, waktu ini bisa dihitung dari penggunaan terakhir.
Dapat disimpulkan bahwa pemalsuan dokumen adalah tindakan yang sangat serius. Bukan hanya melanggar etika dan merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga termasuk dalam tindak pidana yang dapat dikenai hukuman berat. Sebagai masyarakat yang ingin membangun sistem yang jujur dan adil, penting bagi kita untuk menolak segala bentuk manipulasi administratif dan mendukung proses hukum yang adil terhadap pelanggar.


Misael and Partners