NOODWEER DAN NOODTOESTAND SEBAGAI ALASAN PENGHAPUS PIDANA DALAM KUHP
Setiap orang berhak mendapat perlindungan baik untuk pribadi, keluarga, kehormatan maupun harta benda untuk mempertahankan hak-haknya sepanjang masih dalam batas yang diperbolehkan dalam hukum. Peristiwa pidana merupakan tindakan melanggar hukum yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja yang atas tindakan tersebut dimintakan pertanggungjawaban dengan diberikan hukuman sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Namun tidak semua peristiwa pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, hal ini dikarenakan adanya doktrin yang dikenal dengan alasan-alasan penghapusan pidana dimana pelakunya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Penghapusan pidana merupakan pembelaan diri terhadap serangan atas hak-hak milik seseorang yang telah dirampas, sehingga menyebabkan orang tersebut terpaksa melakukan tindakan pidana demi melindungi dirinya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) alasan penghapusan pidana (strafuitsluitingsgroden) diatur dalam Buku Kesatu Bab III Pasal 44, 45, 48, 49, 50, 51. Salah satu alasan penghapusan pidana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi,
“tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, membela perikesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”
Dari pengertian tersebut memberi penjelasan bahwa alasan penghapusan pidana disebut juga dengan pembelaan terpaksa atau yang dalam bahasa Belanda disebut noodweer.
Noodweer berasal dari dua kata, “nood” yang artinya darurat/keadaan terpaksa dan “weer” yang artinya pembelaan. Noodweer adalah tindakan kriminal yang dilakukan dalam keadaan terpaksa sebagai upaya untuk melakukan pembelaan diri dari ancaman yang menyangkut harta, benda maupun kesusilaan dirinya. Noodweer dapat dijadikan sebagai alasan pembenar yang dapat menghapus perbuatan melawan hukum ketika seseorang menjadi korban tindak pidana. Sebagai contoh, seorang korban begal yang membunuh pelaku pembegalan tidak dapat dipidana karena beralasan pembelaan paksa untuk melindungi dirinya dari sebuah serangan ancaman, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 49 KUHP.
Secara garis besar perbuatan pidana yang dapat disebut noodweer harus memenuhi syarat; 1) adanya serangan dari pihak lawan yang melawan hukum, 2) adanya bahaya, dan 3) adanya perbuatan sebagai bentuk pembelaan pada saat serangan masih dilakukan. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak dapat disebut noodweer dan perbuatan tersebut dapat dipidana karena dianggap murni untuk melakukan kejahatan.
Noodtoestand merupakan keadaan darurat karena situasi alam yang menyebabkan dihapuskannya tuntutan tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang. Noodtoestand dapat terjadi karena tiga hal yaitu; pertentangan antara dua kepentingan hukum, pertentangan antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum, dan pertentangan antara dua kewajiban hukum. Yang dimaksud dengan noodtoestand adalah keadaan memaksa yang timbul dimana untuk menghindari keadaan bahaya tersebut, seseorang terpaksa melanggar kepentingan hukum sehingga dari keadaan memaksa itu bukan muncul karena adanya perbuatan dari manusia tapi terjadi karena keadaan-keadaan. Dengan kata lain noodtoestand merupakan keadaan dimana seseorang harus memilih antara dua kepentingan yaitu kepentingan yang salah untuk dikorbankan atau kepentingan lain untuk menyelamatkan dirinya.
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa noodweer merupakan tindakan pembelaan diri sebagai bentuk perlawanan yang dilakukan untuk mempertahankan haknya yang sedang terancam, sedangkan noodtoestand merupakan keadaan itu sendiri yang membuat seseorang terpaksa melakukan perbuatan melawan hukum. Noodweer menggarisbawahi tindakan pembelaan terhadap diri seseorang sebagai alasan atas suatu kondisi yang mengancam dirinya, sedangkan noodtoestand menggarisbawahi sebuah keadaan yang menyebabkan terpaksanya dilakukan perbuatan pidana karena keadaan yang memaksa.
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana