KEPASTIAN HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG PERKAWINAN

Pernikahan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda keyakinan dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya. Sehingga dalam hal ini tentunya menimbulkan pro dan kontra dalam mengajukan, menyiapkan, melaksanakan perkawinan tersebut. Tentunya dalam hal ini menimbulkan banyak pertanyaan yang menimbulkan jawaban yang tidak selaras satu dengan yang lainnya. Sehingga, perkawinan tersebut sudah sah menurut hukum di Indonesia. Namun, status perkawinan beda agama yang menjadi ketakutan bagi setiap masyarakat yang ingin melasakannya menimbulkan keraguan dan ketakutan terkait kepastian hukum atas perkawinan tersebut seperti pengakuan yang tercatat dalam catatan sipil atas terlaksananya perkawinan tersebut berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 yang merupakan syarat yang wajib dilaksanakan, yaitu :

- Syarat formil

- Syarat materil

- Persetujuan dari kedua belah pihak

- Tidak dalam status perkawinan/single

- Usia

Perkawinan beda agama yang sulit mendapatkan kepastian hukum terkait peraturan dan atau ketentuan undang-undangan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 jo Pasal 28 huruf C UUD 1945 disebutkan sebagai landasan bagi setiap hakim dalam memberikan kepastian hukum atas permohonan bagi setiap masyarakat yang melaksanakan perkawinan beda agama. Dalam hal ini, perkawinan yang terjadi atas perbedaan keyakinan bukanlah sebuah larangan yang tidak diperbolehkan terjadi akan tetapi hal ini sudah di dukung oleh Sema No.2 Tahun 2023 yang menjadi landasan bagi setiap hakim dalam menegakan hukum atas perkawinan beda agama tersebut. Sehingga dalam hal ini, sebelum dilaksanakannya perkawinan beda agama tersebut haruslah mendapatkan persetujuan dari penetapan pengadilan bagi setiap orang yang ingin melaksanakan perkawinan tersebut. Seperti halnya, yang baru saja terjadi pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor putusan 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt Sel. Bagaimana kekuatan hukum serta dampak hukum yang terjadi atas perkawinan tersebut, bahkan masih banyak pertanyaan lainnya. Dalam hal ini, Dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 43 anak yang lahir dari perkawinan beda agama adalah anak yang sah dan memiliki keyakinan yang merupakan turunan yang akan diteruskan oleh sang anak. Sehingga dalam menganut keyakinan sang anak harus memilih dari keyakinan kedua orang tuanya atau sang anak tidak akan beragama ganda dan juga hak waris serta perwaliannya secara penuh/keseluruhan. Dan dalam ahli waris anak tersebut berhak menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya, dikarenakan pernikahan yang sah adalah perkawinan yang disahkan oleh masing-masing agamnya. Sehingga perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak dicatatkan. Adapun Perkawinan beda agama dilangsungkan melalui penetapan pengadilan, maka kantor Catatan Sipil yang bertugas dalam mencatatkan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pencatatan perkawinan merupakan bukti autentik untuk mendapatkan kepastian hukum yang telah terjadinya perkawinan. Maka dari itu, perkawinan beda agama adalah perkawinan yang sah, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf F UU No.1 Tahun 1974 jo Sema No.2 Tahun 2023. Suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sumber : Undang-Undang No.1 Tahun 1945

Perkawinan, KUH Perdata, Pernikahan beda agama, Pernikahan Campuran