Dampak Hukum Terhadap Putusan Non-Executable: Masih Ada Harapan?

Putusan pengadilan idealnya merupakan penyelesaian akhir yang mampu memberi keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Namun, tidak semua putusan dapat dilaksanakan secara efektif. Fenomena putusan non-executable, atau putusan yang tidak dapat dieksekusi, menjadi salah satu tantangan dalam praktik peradilan di Indonesia.

Ketika seseorang membawa perkara ke pengadilan, tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan putusan yang memberikan keadilan baginya berupa pemenuhan hak yang sudah seharusnya orang tersebut dapatkan. Maka dari itu setelah putusan pengadilan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), pihak yang menang akan berupaya mengeksekusi putusan tersebut sesuai dengan keputusan hakim. Dengan adanya putusan tersebut maka pihak yang kalah diwajibkan untuk menjalankan isi putusannya sebagaimana sesuai dengan asas res judicata pro veritate habetur yang artinya putusan hakim harus dianggap benar. Sehingga apabila pihak yang kalah dalam putusan tersebut tidak mau menjalankan putusan tersebut, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi sebagaimana diatur dalam 196 HIR yang menyatakan

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai memenuhi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1), baik dengan lisan maupun dengan surat, supaya keputusan itu dilaksanakan. Kemudian ketua itu akan memanggil pihak yang kalah itu serta menegurnya, supaya ia memenuhi keputusan itu dalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selama-lamanya delapan hari. (Rv. 439, 443; IR. 94, 113, 130.) “.

Lalu bagaimana dengan dampak hukum yang dihasilkan dari putusan non-executable?

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai dampak putusan tersebut, mari kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan putusan non-executable. Apa itu Putusan Non-Executable? Menurut Buku II Perdoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, Putusan Non-Executable merupakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dinyatakan oleh Ketua Pengadilan Negeri, apabila :

1. Putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif

2. Barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan Tergugat/Termohon Eksekusi;

3. Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang yang disebutkan di dalam amar putusan;

4. Amar putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan

5. Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat menyatakan suatu putusan non-executable, sebelum seluruh proses/acara eksekusi dilaksanakan, kecuali Putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif.

Menurut M.Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, Dampak hukum yang muncul ketika suatu putusan dalam perkara perdata dinyatakan tidak dapat dieksekusi (non-executable) berbeda-beda, tergantung pada alasan dan hasil persidangan. Berikut ini adalah akibat hukum setelah putusan dinyatakan non-executable:

1. Jika putusan dinyatakan non-executable karena harta atau objek eksekusi tidak ada, maka status non-executable hanyalah bersifat sementara dan tidak menghapus kewajiban tergugat untuk memenuhi kewajibannya.

2. Ketika putusan dinyatakan non-executable karena objek eksekusi dijaminkan kepada pihak ketiga, eksekusi dapat dialihkan ke objek lain yang tidak dijaminkan.

3. Jika putusan menjadi non-executable karena objek berada di luar negeri, eksekusi tetap dapat dilaksanakan jika pemohon mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri tempat objek tersebut berada.

4. Apabila putusan dinyatakan non-executable karena status tanah berubah menjadi milik negara, eksekusi harus dihentikan, karena dengan perubahan status tanah menjadi milik negara, kewajiban pihak tereksekusi otomatis gugur. Eksekusi juga harus dihentikan jika batas-batas tanah tidak jelas.

5. Dalam hal putusan tidak dapat dieksekusi karena objek berada di tangan pihak ketiga, bersifat deklaratif, berada di tangan penyewa, atau merupakan harta bersama, masih ada upaya agar eksekusi dapat dilanjutkan dengan mengajukan gugatan baru.

6. Dua putusan pengadilan yang saling bertentangan juga dapat menyebabkan putusan menjadi non-executable. Dalam situasi ini, upaya hukum yang dapat ditempuh adalah peninjauan kembali.

Karena hal tersebut, dikarenakan putusan non-executable merupakan permasalahan hukum belum ada solusi konkret hingga saat ini, ada baiknya kita melakukan tindakan preventif yang dapat mencegah putusan pengadilan menjadi putusan non-executable yaitu:

1. memastikan petitum gugatan memuat klausul yang bersifat Commendatoir (menghukum);

2. melakukan langkah praktis berupa tracing asset sebelum mengajukan permohonan eksekusi guna untuk memastikan aset yang hendak dieksekusi; dan

3. mencantumkan dwangsom (uang paksa) di petitum guna untuk memberikan Sanksi bagi Pihak yang Tidak Melaksanakan Putusan

Putusan, Perdata, Non-Executable, Eksekusi, KUHperdata