Bagaimana akibat hukum apabila perkawinan antara suami dan istri hanya dilaksanakan menurut agama tetapi tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil?
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), perkawinan adalah sah apabila:
- Dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing; dan
- Dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Artinya, berdasarkan pasal tersebut, perkawinan antara suami dan istri adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan dicatatkan. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada dua lembaga yang berwenang untuk mencatatkan perkawinan, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) untuk pasangan yang beragama muslim dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (atau biasa disebut Kantor Catatan Sipil) untuk pasangan yang beragama non-muslim.
Berdasarkan Pasal 2 UU Perkawinan, perkawinan sah apabila dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang digunakan di sini ialah Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan). Pasal 1 angka 17 UU Administrasi Kependudukan mengkategorikan perkawinan sebagai peristiwa penting. Pasal 3 kemudian menyatakan bahwa setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pencatatan Sipil. Artinya, perkawinan di Indonesia wajib dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi pasangan muslim dan di Kantor Catatan Sipil bagi pasangan non-muslim.
Lantas, apakah dengan tidak dicatatkannya perkawinan, perkawinan tersebut menjadi tidak sah? Tentunya saja tidak bisa secara langsung disimpulkan demikian. Perkawinan yang dilakukan di tempat ibadah adalah sah secara agama. Namun, karena tidak adanya pencatatan, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada oleh hukum Indonesia. Artinya, berdasarkan hukum Indonesia pasangan suami istri ini adalah masih dalam status single atau belum menikah.
Lalu, bagaimana status dari anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil?
Karena anak lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum, anak tersebut berstatus sebagai anak luar kawin. Menurut Pasal 43 UU Perkawinan, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya. Akibat yang timbul dari status anak luar kawin adalah sebagai berikut.
- Akta Kelahiran dari anak luar kawin hanya akan mencatat nama ibu saja sebagai orang tua sah tanpa nama ayah.
- Karena Akta Kelahiran anak luar kawin hanya mencatat nama ibu saja, anak luar kawin tidak berhak mewaris dari ayahnya dan hanya akan mewaris dari ibunya sesuai dengan bagian waris anak luar kawin yang ditentukan oleh undang-undang.
Sumber hukum:
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
- Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.