Bagaimana kepastian hukum mendapatkan kepastian hukum atas hak asuh anak tersebut?

Dalam praktik hukum perdata, khususnya perkara perceraian dan hak asuh anak (hadhanah), hal ini biasa terjadi saat mengajukan perceraian atau setelah adanya putusan perceraian. Sering kali terjadi konflik sengit antara kedua orang tua yang sama-sama merasa paling berhak mengasuh anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. UU No. 16 Tahun 2019, Pasal 41 huruf (a):

"Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah: a. Baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada Pasal 105 berbunyi:

"Dalam hal terjadi perceraian:

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak hadhanah;
  3. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.

Situasi menjadi lebih kompleks ketika kedua belah pihak saling mengajukan gugatan hak asuh secara terpisah, dan masing-masing mengalami kekalahan karena alasan formil atau eksepsi, seperti ne bis in idem atau litispendens. Lantas, apa yang terjadi jika gugatan ayah yang lebih dahulu diajukan ternyata ditolak? dan gugatan ibu pun sebelumnya sudah kandas karena eksepsi? Apakah terjadi kekosongan hukum dalam penentuan hak asuh anak?

Gugatan Ganda dan Penolakan dengan alasan Eksepsi, yaitu :

  1. Kasus Ayah Menggugat Lebih Dulu

Jika dilihat berdasarkan kronologi:

  • Sang ayah lebih dahulu mengajukan gugatan hak asuh anak.
  • Gugatan diperiksa dari tingkat pertama hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
  • Hasil akhir: gugatan ayah ditolak seluruhnya oleh MA, baik karena kurang bukti atau pertimbangan terbaik bagi anak.
  1. Ibu Menggugat Kemudian

Sementara proses kasasi berlangsung, sang ibu mengajukan gugatan baru mengenai hak asuh anak. Namun, gugatannya ditolak bukan karena pokok perkara, melainkan karena eksepsi dari pihak ayah, yaitu:

  • Ne bis in idem (perkara yang sama sudah diperiksa).
  • Atau litispendens (perkara yang sama sedang berjalan).

Karena itu, gugatan ibu tidak diperiksa pokok perkaranya, dan hanya dianggap tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Apakah Terjadi Kekosongan Hukum terhadap hak asuh anak tersebut? Namun, dalam pada artikel ini yang menjadi pertanyaan utamanya ialah : Bagaimana apabila kedua gugatan kandas, apakah status hak asuh anak menjadi tidak jelas atau terjadi kekosongan hukum?

Terhadap hal ini, tidak terjadi kekosongan hukum secara absolut, dikarenakan:

  1. Putusan perceraian biasanya memuat penetapan hak asuh
    pada umumnya
    , saat pengadilan mengabulkan perceraian, hakim secara otomatis menetapkan siapa yang berhak mengasuh anak, terutama jika anak masih di bawah umur. Jadi, meskipun gugatan hak asuh terpisah ditolak, putusan cerai menjadi dasar hukum sementara mengenai siapa yang memegang hak asuh.
  2. Hak asuh bersifat dinamis dan dapat dimohonkan kembali
    Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung
    , hak asuh anak tidak bersifat final selamanya. Jika ada perubahan keadaan (change of circumstances), pihak yang sebelumnya kalah atau belum diperiksa pokok gugatannya, berhak mengajukan gugatan ulang.
  3. Prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) tetap berlaku. Prinsip ini menjadi dasar utama pengadilan dalam menetapkan hak asuh. Jika setelah waktu berlalu muncul keadaan baru yang menunjukkan bahwa anak lebih baik diasuh oleh pihak lain, maka gugatan baru bisa diajukan tanpa melanggar asas ne bis in idem. Sebagaimana Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1024 K/Pdt/2006.

Bagaimana Solusi Hukum terkait upaya lanjutan setelah Kedua Gugatan Ditolak? Sehingga, untuk mencegah ketidakjelasan status hukum hak asuh anak, berikut langkah-langkah hukum yang dapat dilakukan, ialah:

1. Permohonan Hak Asuh Baru

Jika gugatan sebelumnya hanya ditolak karena formil (eksepsi), pihak yang dirugikan (misalnya ibu) dapat mengajukan gugatan ulang setelah putusan kasasi dinyatakan inkracht. Karena sudah tidak ada perkara yang berjalan, gugatan baru dianggap sah secara prosedural.

2. Pengajuan Perubahan Hak Asuh

Jika anak berada di bawah asuhan salah satu pihak dan terbukti tidak mendapatkan pengasuhan yang layak, maka mantan pasangan dapat mengajukan perubahan atau pencabutan hak asuh, dengan dalil adanya keadaan baru (novum). Misalnya: perubahan ekonomi, kelalaian dalam mengasuh, kekerasan, atau faktor moralitas.

3. Permohonan ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri

Pengadilan tetap memiliki wewenang yustisial untuk memutus perkara hak asuh baru sepanjang berdasarkan bukti baru dan tidak dalam proses perkara yang sama sebelumnya.

Meskipun secara formil kedua gugatan orang tua dalam kasus hak asuh anak bisa saja ditolak, tidak berarti hukum kehilangan daya atau terjadi kekosongan hukum secara substansial. Putusan cerai menjadi dasar awal, dan hukum Indonesia tetap memberikan ruang melalui prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” dan konsep gugatan baru berdasarkan perubahan keadaan.

Hukum Perkawinan, Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, KUHPER, Hukum Keluarga, Hukum Waris