Apakah Praperadilan sama dengan Peradilan Biasa?
Indonesia saat ini kembali dihebohkan dengan kasus kematian Vina dan Eky yang terjadi di Cirebon, Jawa Barat setelah kisahnya diangkat menjadi sebuah film yang berujung kepada munculnya tiga nama dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) yang diduga menjadi otak dari aksi pembunuhan. Namun, dua nama dari DPO kemudian dihapus usai tertangkapnya salah satu DPO bernisial ‘P’ menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama setelah tersangka ‘P’ membantah keterlibatan dirinya ikut dalam kasus tersebut dan mengaku penetapan dirinya sebagai tersangka merupakan korban salah tangkap.
Melalui bantuan kuasa hukum tersangka ‘P’ kemudian mengajukan gugatan praperadilan karena menganggap penangkapan tersangka ‘P’ oleh penyidik tidak sesuai dengan prosedur sehingga pengkapan tersangka ‘P’ dapat disebut sebagai salah tangkap.
Lalu, apa yang dimaksud dengan praperadilan? Bagaimana proses praperadilan itu bisa terjadi?
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan di Indonesia khususnya mengenai penegakan hukum pidana. Praperadilan merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus terkait: (Pasal 1 ayat 10 KUHAP)
- Sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atua kuasanya;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan;
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Dengan kata lain, praperadilan hanya berfungsi untuk memeriksa keabsahan dari suatu proses penanganan perkara dan bukan mengenai pokok dari suatu perkara. Jadi, sebelum perkara tersebut diajukan ke pengadilan, melalui praperadilan memberikan kesempatan kepada tersangka maupun terdakwa untuk mengajukan keberatan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum. Oleh sebab itu, dinamakan “pra” atau sebelum dan “peradilan” atau persidangan.
Dalam mekanisme praperadilan hanya dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera. Umumnya setelah permohonan praperadilan diterima dalam waktu 3 (tiga) hari akan ditentukan jadwal sidang. Kemudian, 7 (tujuh) hari sejak permohonan diperiksa, hakim sudah harus memberikan putusan atas permohonan tersebut. Atas putusan praperadilan yang telah diputus tidak dapat diajukan banding (Pasal 83 ayat 1 KUHAP) kecuali terhadap putusan yang menyatakan tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan.
Tapi jika Pemohon ingin membatalkan permohonan praperadilan, apakah bisa? Jawabannya tentu saja bisa. Dengan persetujuan Termohon, Pemohon dapat mencabut permohonannya sebelum pemeriksaan mulai dilakukan atau sebelum Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan. Alasan yang paling umum digunakan untuk mencabut permohonan praperadilan biasa untuk melengkapi berkas-berkas agar sempurna saat telah dilakukan pemeriksaan. Atau dengan alasan sederhananya karena Pemohon praperadilan hanya ingin melakukan pencabutan permohonan.
Perlu menjadi perhatian, apabila perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permohonan praperadilan yang sebelumnya sudah diajukan menjadi gugur dan akan dituangkan dalam bentuk penetapan.